Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [kata pengantar]

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelasaikan tugas makalah Perbandingan Sistem Pemerintahan ini dengan judul ”Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sukabumi Periode 2005 – 2010 Terhadap Proses Pemekaran Di Kabupaten Sukabumi” tanpa ada suatu halangan yang berarti. Selain itu juga saya ucapkan banyak terima kasih kepada :

1.A.G. Sanjaya S.Ip. M.Si., selaku dosen Mata Kuliah yang telah membimbing saya hingga terselesaikannya makalah ini.
2.Teman-teman dan semua pihak yang telah terlibat dan membantu hingga terselesaikannya makalah ini tepat pada waktunya.
3. Kepada Kang Geri Sugiran AS sebagai editor dari pembuatan tugas ini.

Saya menyadari bahwa saya masih dalam tahap belajar dimana pengetahuan yang saya miliki belum banyak, sehingga masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Untuk itu tidak ada salahnya jika pembaca yang budiman memberi kritik dan sarannya kepada saya demi kesempurnaan tugas tersruktur ini di masa mendatang. Dan semoga tugas terstruktur ini akan bermanfaat bagi orang banyak. Demikian yang dapat saya tulis dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Surade, Oktober 2009

Tim Penyusun

[judul] [bab I] [bab II] [bab III] [bab IV] [bab V] [kata pengantar

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [bab V]

BAB. V
KESIMPULAN

Dari Penjabaran kajian kebijakan diatas dapat disimpulkan bahwa Pemerintah kabupaten Sukabumi telah berperan dalam pemekaran wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai berikut:

Pemerintahan Kabupaten Sukabumi telah mengajukan draf pemekaran kab. Sukabumi yang sudah dilengkapi dengan hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Pemerintah Sukabumi juga telah melakukan jaring aspirasi selama reses ke-2 tahun 2007, di Kabupaten Sukabumi, respon masyarakat atas pemekaran Kabupaten Sukabumi menguat. Sebagian besar masyarakat di daerah tersebut menginginkan adanya pemekaran wilayah di Kabupaten Sukabumi.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi bekerjasama dengan Institusi Pendidikan dalam hal ini Universitas Padjajaran melakukan Kajian terhadap kelayakan Pemekaran wilayah di Sukabumi.

Pemkab Sukabumi telah menyiapkan alokasi dana untuk penataan daerah otonomi baru. Dana yang disiapkan, mencapai Rp 5 miliar untuk menutupi kebutuhan pemekaran Kabupaten Sukabumi.

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [bab IV]

BAB. IV
PEMBAHASAN

4.1 Kebijakan Pemekaran Daerah

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara.

Sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

4.1.1 Kerangka Normatif Pemekaran Wilayah

Secara normatif prosedur pemekaran wilayah mengacu pada pasal 16 PP 129/2000, yang mencakup tahapan kegiatan sebagai berikut:
1.Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan.
2.Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
3.Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan propinsi, yang dituang dalam keputusan DPRD.
4.Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
5.Berdasarkan rekomendasi pada point 4, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
6.Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
7.Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.
Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

4.1.2 Usulan dari Daerah dan Tindaklanjut oleh Pemerintah Pusat

Dari hasil penelitian di Kota Bima dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), ditemukan bahwa alasan pertama yang dikemukakan untuk melakukan pemekaran wilayah adalah aturan hukum yang membolehkan pemekaran wilayah sepanjang syarat-syarat administratif dan teknisnya dipenuhi. Alasan lain munculnya inisiatif pemekaran wilayah dari daerah adalah terkait dengan rentang kendali pelayanan yang tidak merata dan jauh serta peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pembangunan ekonomi.

Mencermati kenyataan banyaknya daerah baru yang terbentu sampai saat ini, nampak bahwa proses yang terjadi di tingkat pemerintah pusat relative mudah dan terkesan terjadi kompromi seperti:

1. Proses teknokratis yang fleksible, seperti:

a)Kriteria kelayakan pemekaran yang mudah dipenuhi bahkan dimanipulasi (seperti kriteria jumlah penduduk yang tidak 'wajib' karena diakumulasikan dengan indikator yang lain), maupun standard nilai minimum kelulusan yang dapat dirasionalisasi;
b)Studi kelayakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang cenderung mendukung dan memaksa terjadinya pemekaran wilayah;
c)Adanya formulir isian kelengkapan data calon daerah otonomi baru yang membuka peluang bagi para pihak yang terlibat untuk melakukan manipulasi data dan informasi yang dibutuhkan bagi pemekaran wilayah.

2. Proses politik yang cenderung anarkis:

Dalam implementasinya, proses pemekaran wilayah dapat dilakukan melalui dua pintu masuk, yaitu lewat lembaga politik (DPR) sebagai usul inisiatif DPR, dan melalui institusi pemerintah (DPOD Depdagri). Argumen-argumen politik seringkali memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan eksekutif dalam hal penolakan proposal pemekaran daerah.

4.1.3 Kaji ulang Peran Para Pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah

A. Daerah Persiapan

Daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan administratif semata tapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain sebagaimana yang dikonsepkan oleh DRSP seperti berikut:

a)Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang maupun batas wilayah. Disamping itu juga terumuskannya dokumen rencana tata ruang lokasi Calon Ibukota daerah otonom baru maupun Calon Ibukota Daerah Induk apabila pemekaran wilayah terjadi di dalam kawasan Ibukota Daerah Induk seperti kasus pembentukan Kota Bima.
b)Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan dengan kebutuhan kantor, identifikasi aset, fungsi staff, struktur organisasi, maupun proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini penting dilakukan dalam masa persiapan agar proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan bersama antara Daerah Induk dengan Calon Daerah Otonomi Baru. Dengan demikian konflik tentang pengalihan aset sudah dapat dihindari sejak awal.
c)Mempersiapkan persyaratan teknis administratif yang berkaitan dengan kerjasama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan pengkajian terhadap kelayakan pembentukan daerah otonomi baru atau pemekaran wilayah.

B. Peran Masyarakat Sipil

Peran masyarakat sipil harus dituangkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk referendum untuk menentukan pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran wilayah. Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat sipil juga harus berperan dalam memberdayakan masyarakat supaya ada pengertian yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah maupun pentingnya pelaksanaan referendum.

Dengan demikian, dalam tahap awal atau masa persiapan, kegiatan yang harus dilaksanakan pertama kali adalah melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Meskipun terdapat berbagai metode penjaringan aspirasi seperti melalui quesioner, seminar atau lokakarya, namun dalam hal pemekaran wilayah nampaknya referendum merupakan pendekatan yang paling tepat.


C. Peran Daerah Induk

Peran Bupati:

a)Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.
b)Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan
c)Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah.
d)Menetapkan LO sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah, propinsi, maupun pemerintah pusat.
e)Memfasilitasi kunjungan tim observasi dari pemerintah pusat dan DPR RI
f)Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah.

Peran DPRD:

a)Memberikan rekomendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran wilayah.
b)Membentuk Pansus (Panitia Khusus) yang akan melakukan pembahasan tentang rencana pemekaran wilayah.
c)Mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran wilayah, serta keputusan tentang calon Ibu Kota dan dukungan pembiayaan dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan pemilihan



Kepala Daerah.

Memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPRD Propinsi untuk dapat memberikan persetujuan terhadap rencana pemekaran wilayah

D. Peran Propinsi

Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari Pemerintah Pusat. Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru.

Berdasarkan uraian peran-peran mendasar dari beberapa pihak di atas, maka perlu dipertegas siapa sebenarnya yang dapat menjadi pengusul, karena sekarang kesannya adalah bahwa pengusul utama adalah Kepala Daerah/DPRD daerah Induk. Sebagai bukti dapat disebutkan bahwa usulan masyarakat tidak akan berarti apa-apa jika Bupati tidak memberikan rekomendasi dan persetujuan kepada tingkat propinsi. Pada sisi lain, dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini penyelesaian konflik terhadap kasus seperti ini tidak digambarkan secara jelas. Ke depan, seharusnya pemerintahan daerah hanya memberikan pendapat atau persetujuan/penolakan atas usulan, serta menentukan pihak-pihak yang dapat berperan.
Opsi yang mungkin dapat diterima di Indonesia adalah Opsi di mana masyarakat langsung memberikan pendapatnya, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dan propinsi hanya memberikan pendapat. DDN/DPOD tetap wajib menguji usulan sesuai proses teknis yang berlaku. Kalau disetujui DDN/DPOD, DPR/DPD tetap dapat mendukung (dengan membahas RUU pembentukan daerah dari pemerintah) atau menolak, dengan tidak melanjutkan RUU pembentukan daerah.

4.1.4. Pembenahan Prosedur dan Persyaratan Pemekaran Wilayah

A. Pembenahan Prosedur

Tahapan prosedur pemekaran wilayah/pembentukan daerah diusulkan sebagai berikut:
1. Pembentukan Daerah Persiapan.

a)Pembentukan Daerah Persiapan dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang mencakup aspek kapasitas maupun ekonomi dengan memperhatikan kriteria-kriteria, antara lain:
b)Urutan tingkat kota/daerah persiapan (rank) menurut besaran jumlah penduduk dibandingkan dengan kota/daerah lainnya dalam wilayah propinsi;
c)Fungsi kota/daerah didalam sistem pusat pengembangan wilayah yang tertuang dalam RTRW Propinsi;
d)Peranan ekonomi kota/daerah didalam lingkup yang lebih luas yaitu kabupaten dan propinsi;
e)Kemampuan ekonomi dan besaran potensi penerimaan asli;
f)Jumlah penduduk yaitu paling sedikit 100.000 jiwa (untuk luar jawa) dan 150.000 jiwa (Pulau Jawa) atau jumlah penduduk minimal 50.000 jiwa untuk daerah-daerah yang memiliki kendala geografis dan daerah kepulauan;
g)Angka pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahun sebagai indikator kecepatan pertumbuhan jumlah penduduk;
h)Tingkat kesulitan masyarakat dalam mengakses pelayanan publik;
i)Jarak maksimum rentang kendali.

Penentuan daerah persiapan kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri setelah usulan yang disampaikan dianggap oleh Menteri bahwa memenuhi syarat teknis.

2. Pembangunan Daerah Persiapan.

Dalam pelaksanaan selanjutnya Daerah asli wajib memberdayakan daerah persiapan, dengan menempatkan pejabat yang mewakili Kepala Daerah (daaerah asli) di daerah persiapan, yang bertanggungjawab kepada Kepala Daerah (daerah asli) selama periode persiapan dan bertanggungjawab pada DPRD daerah otonom baru setelah DPRD dipilih dan sebelum Kepala Daerah daerah otnom baru dipilih.

Selanjutnya Kepala Daerah Persiapan menyusun struktur organisasi daerah persiapan, menyiapkan lambang daerah serta mengatur dan mengurus proses perencanaan dan tata ruang, dan alokasi anggaran agar daerah persiapan ditangani secara utuh dan terpadu. Pada sisi lain Daerah Induk juga harus membangun fasilitas pemerintahan dan menempatkan personil dan peralatan dan sistim informasi atau secara bertahap menyerahkan asset.

3. Pembentukan Daerah

Daerah persiapan dapat ditetapkan sebagai daerah otonomi baru apabila dipandang layak/perlu sesuai dengan persyaratan dan criteria yang berlaku, sekurang-kurangnya setelah 5 tahun terhitung sejak pembentukan Daerah Persiapan. Pembentukan daerah juga harus diikuti dengan selesainya persoalan serah terima asset sehingga tidak terjadi konflik yang berkepanjangan tentang hak-hak pengelolaan asset daerah.

Persoalan lain yang juga harus dibenahi dalam prosedur pemekaran wilayah dan penataan daerah secara lebih luas, maka persoalan penting yang harus dilakukan adalah bagaimana membatasi bahkan membendung hak inisiatif DPR untuk mengusulkan pembentukan daerah otonom melalui grand startegy dan kriteria yang lebih tepat dalam penataan daerah melalui undang-undang khusus tentang Pembentukan Daerah Otonom.

B. Pembenahan Kriteria/Persyaratan Teknis

Dilatarbelakangi oleh proses teknis/administratif yang kurang jelas, kurang lengkap, dan terlalu mengandalkan pada pendekatan teknis yang kompleks (terlalu banyak indikator yang kurang menyentuh), dan kuantitatif namun dengan rumusan simplistis dan mekanistis, maka persyaratan pembentukan daerah hanya akan mencakup:

(1) Persyaratan teknis: meliputi faktor spesifik dari kategori faktor: kemampuan administratif, aksesibilitas kepada pelayanan publik, kemampuan ekonomi dan potensi penerimaan asli, sosial budaya, sosial politik, luas daerah dan kondisi geografis, dan pertahanan/keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
(2) Persyaratan administratif : meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(3) Persyaratan fisik mencakup ketersediaan prasarana perkantoran/ fasilitas pemerintahan, ibukota daerah pemekaran, dan ibukota daerah induk apabila daerah yang dimekarkan merupakan kota Ibukota Daerah Induk, serta menyangkut batas wilayah.

C. Pembiayaan untuk Pemekaran Wilayah

Pembiayaan daerah baru selama menjadi daerah persiapan dibebankan kepada Daerah Induk. Dan setelah daerah baru sudah terbentuk akan langsung menerima dana perimbangan dan dana lain sesuai kerangka kebijakan yang sama dengan daerah lain.

Disamping itu, prinsip yang sangat penting untuk dipertimbangkan masuk dalam kerangka hukum yang baru adalah prinsip netralitas keuangan bagi pemekaraan, di mana pemekaran tidak akan menambah penerimaan per capita di daerah-daerah yang terlibat dalam pemekaraan (dilihat bersama). Untuk memenuhi prinsip ini berarti bahwa katian antara DAU dan jumlah PNS harus diputus.

D. Pengelolaan Asset

Pengelolaan aset dan serah terima aset sebaiknya tidak menetapkan batas waktu tapi lebih menekankan pada bagaimana memediasi dan membangun kerjasama antara daerah induk dengan daerah pemekaran.

4.2 Peranan Pemerintah Kabupaten Sukabumi Terhadap Kebijakan Pemekaran wilayah

Menurut Effendy dalam makalahnya tentang pemekaran wilayah, Bupati sebagai pemangku kebijakan diwilayah kabupaten memiliki peran strategis dalam terbentuknya wilayah pemekaran.
Dalam proses pengajuan Pemekaran wilayah di Kabupatennya, Bupati berperan untuk :

a)Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.
b)Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan
c)Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah.
d)Menetapkan LO sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah, propinsi, maupun pemerintah pusat.
e)Memfasilitasi kunjungan tim observasi dari pemerintah pusat dan DPR RI
f)Mengalokasikan anggaran

Dari fungsi dan peran diatas, Bupati Sukabumi dalan hal ini sebagai pengambil kebijakan di Pemerintahan Kabupaten Sukabumi telah mengajukan draf pemekaran kab. Sukabumi yang sudah dilengkapi dengan hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Sementara itu Pemerintah Sukabumi juga telah melakukan jaring aspirasi selama reses ke-2 tahun 2007, di Kabupaten Sukabumi, respon masyarakat atas pemekaran Kabupaten Sukabumi menguat. Sebagian besar masyarakat di daerah tersebut menginginkan adanya pemekaran wilayah di Kabupaten Sukabumi.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sukabumi bekerjasama dengan Institusi Pendidikan dalam hal ini Universitas Padjajaran melakukan Kajian terhadap kelayakan Pemekaran wilayah di Sukabumi. Hasil kajian pemekaran itu kemudian dikirimkan lagi kepada pemprov jabar untuk dibahas dan diproses sesuai aturan yang ada.

Pemkab Sukabumi telah menyiapkan alokasi dana untuk penataan daerah otonomi baru. Dana yang disiapkan, mencapai Rp 5 miliar untuk menutupi kebutuhan pemekaran Kabupaten Sukabumi.

Pemkab juga telah menyiapkan sejumlah lahan yang nantinya dijadikan areal perkantoran dan perumahan pegawai di kabupaten hasil pemekaran. Lokasi ibu kota kabupaten pemekaran berada di daerah cibadak.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah mengagendakan rencana pemekaran daerah pada tahun 2010, seperti tertuang dalam perda no 1 tahun 2006 tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Rpjmd tersebut, kebijakan pemekaran diimplementasikan dalam program penataan wilayah administrasi kecamatan dan desa, serta program percepatan pemekaran Kabupaten Sukabumi.

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [bab III]

BAB. III
KAJIAN TEORI


Agar diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pengertian, ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik.

3.1 Pengertian, dan Fase Kebijakan Publik
3.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai berikut : Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye (Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai berikut : Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sekalipun batasan ini dirasakan agak tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah.

Dari definisi beserta keterangan yang dikemukakan oleh Carl J.Fredrich itu, maka James E.Anderson menyimpulkan suatu konsep Kebijakan Publik adalah sebagai berikut: Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakn oleh pelaku atau pelaku kebijakan didalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan. Agak berbeda dari definisi-definisi yang dikemukakan Anderson terdahulu dimana penekanannya pada pembuat kebijakan, maka Dimock and Dimock dalam bukunya yang berjudul Public Administration mengarahkan perhatian atau fokus definisinya pada pendapat dan keinginan rakyat. Ia memberikan definisi Kebijakan Publik sebagai berikut: Kebijakan Publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan golongan-golongan dalam masyarakat.
Dari berbagai definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Publik memiliki dimensi yang luas sehingga menjadi sangat dinamis dan dapat diadakan pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, di dalam suatu penelitian tertentu Kebijakan Publik dapat saja didudukkan sebagai variabel terikat (Dependent Variable) dan sebagai variabel bebas (Independent Variable).
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa makna dan hakekat Public Policy atau Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pemerintah atau pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat (public Interest). Dimana kepentingan rakyat itu merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan kristalisasi pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutan–tuntutan dari rakyat.

3.1.2 Fase-Fase Kebijakan Publik

Jika Kebijakan Publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus kebijakan terdiri dari beberapa fase, dan fase-fase tersebut adalah Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Putra,2001).

Agak sedikit berbeda dengan pendapat diatas, William N.Dunn di dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik (terjemahan Muhadjir Darwin dkk;2000) menyebutkan fase-fase kebijakan publik adalah sebagai berikut:
Proses analisis Kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Masih menurut Dunn, Tahapan atau fase-fase di dalam analisis Kebijakan Publik mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu, setiap tahap selalu berkaitan dengan tahap berikutnya. Tahap Terakhir kebijakan (Penilaian Kebijakan) dikaitkan dengan Tahap Pertama (Penyusunan Agenda), atau di tengah dalam aktifitas yang tidak linear.
Dari kedua pendapat ahli tentang fase-fase Kebijakan Publik tersebut dapat dijelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masing – masing menempatkan implementasi sebagai salah satu fase yang penting di dalam studi Kebijakan Publik.

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [bab II]

BAB. II
METODOLOGI PENULISAN

Metode Penulisan

Metode pengkajian yang digunakan di dalam penulisan makalah ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan tipe analisis yang dilakukan menggunakan tipe deskriptif kualitatif, di mana penulis mendeskripsikan atau mengkonstruksikan wacana-wacana mendalam terhadap topik yang dibahas dengan diikuti kajian terhadap implementasinya.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penulisan dan analisis masalah pada makalah ini adalah data primer berupa teori-teori serta materi keilmuan sosial, dan artikel berita sebagai bahan analisis.

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi [BAB I]

BAB. I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara.

Sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung meningkat. Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007(DRSP, 2007). Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. (Effendi, 2008)

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa wilayah Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas se Jawa-Bali dengan kondisi morfologi lahan bervariasi, serta rendahnya kemampuan daerah dalam pembangunan infrastruktur. Keadaan tersebut berakibat pada rendahnya rentang kendali pemerintahan atau rendahnya kinerja pemerintahan. Dampak lebih jauh dari keadaan ini adalah lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu ditambah relatif kuatnya aspirasi masyarakat untuk peningkatan peelayanan pemerintahan, maka guna melakukan proses percepatan peningkatan kesejahteraan dipandang perlu dilakukan pemekaran wilayah administrasi baik untuk tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten. (Bappeda Sukabumi, 2009)

Pemekaran wilayah Kabupaten Sukabumi menjadi dinilai sangat penting dengan kondisi wilayah tersebut diatas, serta perlunya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi dasar penting pemekaran. Peran Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam hal ini sangat diperlukan sebagai mana dalam rumusan pemekaran wilayah disebutkan bahwa bupati memiliki peran penting dalam pemekaran wilayah, yaitu : (1) Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum; (2) Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan; (3) Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah; (4) Menetapkan LO sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah, propinsi, maupun pemerintah pusat; (5) Memfasilitasi kunjungan tim observasi dari pemerintah pusat dan DPR RI; (6) Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah. (Effendy, 2008)

Rumusan Masalah

Bagaimana peran pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam memberikan kebijakannya terhadap pemekaran wilayah Sukabumi.

Maksud Tujuan

Mengkaji peran pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam memberikan kebijakannya terhadap pemekaran wilayah Sukabumi.

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi

Berikut ini adalah Makalah Kebijakan Pemerintah Daerah dengan analisis terhadap proses pemekaran di kabupaten Sukabumi.

Judul :

Kebijakan Pemerintah kabupaten Sukabumi periode 2005-2010 terhadap proses pemekaran di Kabupaten Sukabumi

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara.

[read more bab I]

METODOLOGI PENULISAN

Metode pengkajian yang digunakan di dalam penulisan makalah ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan tipe analisis yang dilakukan menggunakan tipe deskriptif kualitatif, di mana penulis mendeskripsikan atau mengkonstruksikan wacana-wacana mendalam terhadap





[readmore bab II]


Agar diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pengertian, ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik.

3.1     Pengertian, dan Fase Kebijakan Publik
3.1.1    Pengertian Kebijakan Publik

Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai berikut : Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye (Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai berikut : Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sekalipun batasan ini dirasakan agak tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah.

[readmore bab III]

PEMBAHASAN

4.1    Kebijakan Pemekaran Daerah

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik sebagai warga negara.

[readmore bab IV]

KESIMPULAN

Dari Penjabaran kajian kebijakan diatas dapat disimpulkan bahwa Pemerintah kabupaten Sukabumi telah berperan dalam pemekaran wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai berikut:
1.Pemerintahan Kabupaten Sukabumi telah mengajukan draf pemekaran kab. Sukabumi yang sudah dilengkapi dengan hasil penjaringan aspirasi masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

[readmore bab V]

kata Pengantar
[pengantar]


COVER :


KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI
PERIODE 2005 – 2010 TERHADAP PROSES PEMEKARAN
DI KABUPATEN SUKABUMI


Oleh   :
INTAN NUANSA HERMAN
SUSI MASYATI

editor :
Geri Sugiran AS


SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
STISIP SYAMSUL ULUM SUKABUMI
2009


[judul] [bab I] [bab II] [bab III] [bab IV] [bab V] [kata pengantar]

DAFTAR PUSTAKA

http://www.dsfindonesia.org/userfiles/Summary_Report_on_Pemekaran_Wilayah_Arif_Roesman Effendy2009.pdf

http://www.republika.co.id/berita/67497/Dewan_dan_Pemkab_Dukung_Pemekaran_Sukabumi
Winarno,B. 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas Studi Sosial : Yogyakarta.

http://bappeda.kabupatensukabumi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=49&limit=1&limitstart=9

Putra,F. 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Dunn,W.N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan/ Penyunting Muhadjir Darwin dkk), Gadjah Mada University Press.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang  persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,Penghapusan dan Penggabungan Daerah.